Beragam
perhiasan cincin, gelang, dan kalung tertata di etalase toko. Perhiasan itu
berwarna putih, berbahan baja putih yang oleh masyarakat setempat disebut
monel. Selain perhiasan, di sana dipajang pula aneka kerajinan berbahan monel.
Ada aksesori, alat pijat refleksi dan kerokan, penggaruk punggung, dan beragam
lainnya. Pengunjung toko pun silih berganti berdatangan lalu memilih-milih
barang yang diinginkannya. Pemandangan itulah yang terlihat sehari-hari di Seni
Sakti Monel, Kawasan Kriyan, Jepara, Jawa Tengah. Dari arah jalan raya Kudus
menuju pusat kota Jepara, Kriyan terletak di sebelah kiri jalan. Ada tugu
penanda bertuliskan Sentra Industri Kerajinan Monel, Kriyan, Jepara. Di
kanan-kiri jalan Kriyan, belasan ruang pajang monel menawarkan seni kriya khas
daerah itu. Kerajinan itu sendiri sudah lama ada di sana dan merupakan warisan
dari leluhur.
Melihat
seni kerajinan monel di Kriyan, terbentang kesetiaan pada seni warisan leluhur
yang diperlihatkan dan dikembangkan. Berkat kerja keras pengrajinnya, kini
monel menjadi seni kerajinan yang meluas ke berbagai daerah lain. Menurut H.
Abdur Rochim, pemilik gerai Sinar Sakti Monel, yang bangunannya paling megah di
daerah itu, sudah sejak tahun 70-an pengrajin monel ada di desanya. Kala itu
sebagian besar yang dibuat adalah cincin, baik cincin untuk lelaki maupun
perempuan. Saat remaja, Abdur kerap mengambil beragam cincin dari pengrajin,
kemudian menjajakannya ke berbagai kota. Masa sulit sempat ia lalui di awal
perjalanannya. Dengan berjualan di kaki lima., awalnya ia memang perlu
mengenalkan terlebih dahulu kerajinan monel itu seperti apa. Hingga lama-lama
banyak yang menyukai. Dibandingkan perhiasan lain seperti emas dan perak, harga
monel memang lebih murah. Meski begitu tak kalah menarik bila dipakai.
Berikutnya,
selain cincin Abdur juga menjajakan beragam perhiasan dan produk monel yang
lain, sampai akhirnya usahanya berkembang seperti sekarang. Perjalanan panjang
yang dilakukan Abdur dan pengrajin yang lain, membuat daerah Kriyan terkenal di
mana-mana. Orang kemudian mengenal Kriyan sebagai pusat kerajinan monel.
Penggemar monel memang tak pernah sepi. Belakangan ini seiring dengan tren batu
akik, yang paling dicari adalah cincin untuk tempat akik. Sebenarnya, sejak
awal membuka toko Abdur juga sudah menjual batu akik. Tapi memang baru
tahun-tahun belakangan ini batu akik menjadi booming. Ia menjualnya dengan
beragam harga sesuai dengan kualitas batu. Mulai harga puluhan ribu sampai
jutaan rupiah.
Selain
cincin, produk monel lainnya juga tak pernah kehilangan pembeli. Bahkan banyak
pula yang mengambil dengan jumlah besar, kemudian menjualnya lagi. Toko Seni
Sakti Monel memang menjadi tempat kulakan orang yang ingin berdagang monel.
Selain itu, banyak pula yang membeli satuan untuk dipakai sendiri. Usaha Abdur
terus berkembang sampai sekarang ia memiliki 30-an pengrajin. Di Kriyan, Abdur
sudah berhasil memiliki dua toko, selain itu ia juga mempunyai dua toko lagi di
Mal Rawa Bening, Jakarta yang sudah lama terkenal sebagai pusat batu dan
perhiasan. Cabang tokonya yang di Jakarta pun juga laris.
Abdur
Rochim termasuk pengusaha senior dikawasan Kriyan, atau bisa dibilang salah
satu perintis. Berkat keberhasilannya, Seni Sakti Monel sering digandeng untuk
mengikuti pameran di berbagai tempat. Tapi sekarang ini, ia sedikit mengurangi
mengikuti pameran karena ingin memberi kesempatan kepada pengrajin yang lain.
Toh sebetulnya, ia mengaku cukup kerepotan bila mengikuti pameran, karena
tenaga di tokonya jadi berkurang. Padahal pembeli tidak pernah sepi. Apalagi
saat liburan, dari pagi sampai sore toko terus saja ramai. Banyak wisatawan
yang berombongan mengunjungi Kriyan, dan Seni Sakti Monel menjadi tempat yang
diburu karena tempatnya yang luas dan produknya pun lengkap. Banyak pengunjung
yang berasal dari luar kota bahkan luar pulau. Sepulangnya dari sana, banyak
pula yang memesan untuk dijual lagi. Dan Seni Sakti Monel secara rutin
mengirimnya ke berbagai kota.
Meski
sekarang muncul perhiasan berbahan titanium dari Cina, pasar monel tak pernah
sepi. Monel tetap ada pasarnya, bahkan ketika banyak orang mengatakan situasi
ekonomi sedang sulit, perhiasan monel tetap dicari terutama cincin dan gelang.
Mungkin karena harganya relatif lebih murah dibandingkan perhiasan lain. Sebuah
cincin monel atau gelang, harganya hanya puluhan ribu. Dengan harga yang
relatif murah, orang pun masih tetap bisa bergaya.
Tak
jauh dari Sinar Sakti Monel, ada pula toko Wijaya Monel yang didirikan Ali,
rekan segenerasi Abdur Rochim. Ali juga menjadi saksi sejarah perkembangan
monel. Ia bercerita, dulu pengrajin membuat kerajinan monel dengan cara
ditempa, mirip pekerjaan yang dilakukan pandai besi. Setelah listrik masuk desa
di tahun 1978, barulah pengrajin membuat dengan dibantu dinamo. Pekerjaan
memang jadi lebih mudah, tapi tetap butuh ketekunan. Sampai sekarang monel
tidak bisa dibuat dengan cara dicetak karena bahannya termasuk jenis baja yang
paling keras, jadi masih harus menggunakan tenaga manusia. Ini pula yang
menyebabkan monel tak bisa diproduksi lebih massal.
Dikisahkan
Ali, usaha yang dimilikinya ini sebenarnya merupakan warisan dari orangtuanya.
Semasa masih remaja, ia kerap ikut ayahnya berjualan cincin monel. Salah satu
sasaran sang ayah adalah acara Grebek di Solo yang bisa berlangsung beberapa
hari. Di sana ayahnya berjualan bersanding dengan orang Pacitan yang berjualan
batu akik, jadi ayah Ali yang menyediakan wadahnya. Selama berhari-hari ayahnya
berjualan di Solo, dan menginap bareng dengan penjual batu akik dari Pacitan
itu. Pada hari-hari biasa, sang ayah berjualan di Jakarta. Ali pernah mengikuti
jejak ayahnya dengan menjajakan monel sampai ke kota-kota di Jawa Timur. Kala
itu, ia membawa monel dan emas. Ali memang pernah pula menjadi pengrajin emas.
Tapi dalam setahun, ia hanya bekerja membuat perhiasan emas selama empat bulan.
Saat itu emas termasuk barang mewah. Hanya orang kaya yang sanggup membelinya.
Nah, saat tidak bekerja itulah, Ali keliling berjualan emas, perak, dan monel.
Menurut
Ali, masa itu tak mudah menjual perhiasan. Saat menawarkan barang, ia bahkan
seperti pengemis. Banyak tauke yang menolak. Ia pun mesti sabar menyakinkan
mereka bahwa perhiasan yang ia bawa punya kualitas bagus. Setelah barang yang
ia bawa disukai orang, barulah para tauke itu mau percaya. Sempat beberapa kali
alih usaha, baru pada tahun 2000 silam Ali kembali konsentrasi menjalankan
usaha monel. Ia pernah berjualan di arena pertandingan liga sepakbola.
Ternyata, beberapa pemain bola ada yang menyukai cincin monelnya. Saat pemain
bola ini bertanding ke luar negeri, hasil karyanya ini juga ikut dikenal warga
asing. Tanpa diduga, tiba-tiba ada orang asing yang datang ke tokonya, dan
memintanya untuk mengirim kerajinan monel ke negaranya. Permintaan pasar di
luar negeri ternyata cukup besar, sayangnya Ali yang memiliki 10 pengrajin ini,
tidak sanggup memenuhi semuanya.
Bahkan,
untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal pun, Ali sering kewalahan. Kendalanya
memang di proses produksi karena pengerjaannya masih manual memakai tangan.
Kerajinan monel belum bisa diproduksi massal karena terbatasnya kemampuan
tenaga kerja. Ali menambahkan, Kriyan sebagai pusat monel kini juga sudah menjadi
tujuan wisatawan. Bahkan ada pengrajin monel yang menjalin kerja sama dengan
pengelola tempat wisata air di Jepara. Kunjungan wisatawan yang datang ke sana
itu lalu dikemas satu paket dengan toko kerajinan monel yang ada di Kriyan.
Pengunjung datang ke sana dengan menggunakan transportasi kereta api mini.
Kini, kawasan Kriyan pun selalu ramai.
0 Reviews:
Post Your Review